Dewasa ini, kita hidup di
era dimana popularitas seakan-akan menjadi tujuan utama. Banyak orang berlomba-lomba
untuk menjadi yang paling terkenal seiring dengan makin berkembangnya media
sosial seperti instagram, path, line, twitter, dan lain sebagainya. Maka, tak heran
jika banyak yang melakukan segala upaya untuk dapat menunjukkan eksistensinya
di berbagai media sosial.
Setiap
individu memang memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri. Bagaimana ia
dapat menyalurkan bakat dan hobi yang ada dalam dirinya, termasuk diantaranya hobi
mengejar popularitas di media sosial. Jika dikembalikan kepada hak asasi yang
dimiliki oleh masing-masing individu, maka hal tersebut memang tidak ada
salahnya.
Akan
tetapi, muncul pertanyaan yang sedikit mengusik dalam benakku. Apakah upaya
mengejar popularitas tersebut termasuk salah satu bentuk kebebasan? Atau justru
tuntutan otoritas semata?
Sering
kali kita melakukan berbagai hal yang sebenarnya jauh dari keinginan pribadi. Kita
hanya tunduk dan patuh terhadap otoritas yang dengan seenaknya mengidentifikasikan
identitas kita. Padahal tidak ada jaminan bahwa popularitas yang kita capai di
media sosial merubah kita menjadi “somebody”.
Akan tetapi, idiom “if you are not in internet, you are nobody”
seolah sudah merasuki batas kesadaran individu tentang kepercayaan diri. Kita menjadi
sangat tergantung dengan pengakuan-pengakuan masyarakat yang membuat kita tidak
lagi mengenali diri sendiri. Kita bukan siapa-siapa jika followers instagram kita
hanya sekian ratus saja, misalnya.
Maka, aku ingin memastikan.
Jika upaya mengejar popularitas merupakan salah satu bentuk kebebasan, apakah benar
kebebasan berarti mengikuti apa yang diinginkan orang lain terhadap diri kita? Tentunya
kita harus berfikir kembali bukan? -Popularitas bukanlah prioritas.