Minggu, 28 Februari 2016

My Foklor

Asal-usul Desa Watuaji
            Pada kesempatan kali ini, saya akan menceritakan tentang asal-usul Desa Watuaji yang merupakan desa kelahiran saya 20 tahun silam. Desa Watuaji adalah sebuah Desa kecil yang termasuk ke dalam daerah pemerintahan Kabupaten Jepara. Desa ini terletak di kaki gunung Muria bagian utara, sehingga termasuk daerah pertanian yang subur.
            Dilihat dari namanya, Watuaji berarti batu yang berharga atau batu yang dianggap bertuah. Penamaan desa ini konon berawal dari sebuah kisah yang terjadi pada zaman dahulu, yang hingga sekarang masih beredar dan dipercaya oleh masyarakat setempat.
            Konon, pada zaman dahulu wali songo dalam upayanya menyebarkan agama islam hendak membangun masjid di daerah tersebut. Rencananya, pembangunan masjid akan dilaksanakan dalam waktu semalam. Kebetulan malam itu malam bulan purnama, sehingga pada waktu subuh sudah seperti pagi hari. Ayam-ayam pun mulai berkokok, dan masyarakat setempat juga sudah memulai aktivitasnya menumbuk padi dan menjemur kapas. Melihat ulah masyarakat, para wali pun marah dan menendang masjid yang hampir terselesaikan itu. Akhirnya material masjid pun terpental dan berubah menjadi batu.
            Material masjid yang ditendang dan menjadi batu tersebut tersebar di berbagai tempat di sepanjang aliran sungai Pedot. Bentuknya pun bermacam-macam, ada yang seperti tiang penyangga sehingga dinamakan watu soko, ada yang seperti dinding sehingga dinamakan watu gebyok, ada pula yang mirip seperti pintu sehingga dinamakan watu lawang, dan masih banyak lagi. Karena banyaknya batu-batu yang dipercaya sebagai material masjid ini lah yang kemudian menjadi akar dari penamaan desa Watuaji, yaitu desa dengan batu yang bertuah.
            Karena marah dan kesal, para wali tidak hanya menendang bangunan masjid, namun juga mengutuk warga desa yang menjemur kapas bahwa sampai tua tidak akan menikah. Daerah yang terkena kutukan tersebut dinamakan daerah Brengkel, yang berarti julukan bagi orang yang sampai tua tidak menikah. Hingga kini daerah tersebut masih ada beserta namanya dan termasuk salah satu perdukuhan di desa Watuaji. Dulu, masyarakat di daerah ini memang dikenal baru menikah di usia tua, akan tetapi lama-kelamaan kutukan tersebut luntur.
Tentang kebenaran cerita tersebut, sampai saat ini belum ada bukti yang autentik. Pasalnya, dalam cerita wali songo pun setahu saya tidak pernah menyinggung peristiwa ini. Namun, demikianlah cerita yang beredar dan dipercaya oleh masyarakat setempat.
Pada halaman akhir, saya melampirkan beberapa foto batu-batu yang ada di Desa Watuaji. Bentuk-bentuknya memang unik, berbeda dari batu-batu biasanya. Oleh karena itu, ada yang berpendapat bahwa batu-batu yang berada di desa Watuaji sebenarnya bukan material masjid para wali, akan tetapi peninggalan kerajaan Kalingga pada abad ke-5 M yang pada waktu itu dipimpin oleh Ratu Shima. Pendapat tersebut diperkuat dengan ditemukannya petilasan-petilasan di desa Tempur, yaitu sebuah desa yang terletak disebelah selatan desa Watuaji.

Akan tetapi, kebenarannya pun belum dapat dipastikan, karena sampai saat ini belum ada arkeolog yang meneliti batu-batu di desa Watuaji. Para arkeolog hanya sebatas meneliti petilasan yang berada di desa Tempur saja. Sampai saat sudah dilakukan penelitian, barulah dapat dipastikan apakah usia batu-batu yang berada di daerah Watuaji sama dengan usia berdirinya kerajaan demak yang berarti memang benar ada kaitannya dengan kisah para wali, atau usianya sama dengan usia berdirinya kerajaan Kalingga yang berarti bahwa batu-batu tersebut adalah peninggalan sejarah Ratu Shima.




Senin, 08 Februari 2016

Wayang, yang Tersirat dan Tersurat

     Wayang adalah salah satu seni drama tradisional Jawa yang usianya tergolong sangat tua. Diperkirakan kesenian ini sudah ada sejak abad ke-10 M. Wayang mengandung banyak pesan moral kepada manusia. Kisah yang diceritakan dalam wayang merupakan kisah seputar kehidupan manusia pada umumnya, dimana terdapat tokoh-tokoh yang baik dan juga tokoh-tokoh yang jahat. Kisah yang dibawakan dalam kesenian wayang berbeda-beda tergantung jenis wayangnya. Menurut Koentjaraningrat, wayang yang paling terkenal dan disukai oleh sebagian besar masyarakat Jawa adalah ringgit purwa. Ringgit purwa tersebut menceritakan tentang kisah-kisah yang diambil dari Serat Rama, yaitu kisah Ramayana dan Bratayudha. Ada lagi yang namanya ringgit gedhog yang mengambil cerita dari epos Panji yang berasal dari daerah Asia Tenggara. Selain itu, ada pula yang disebut dengan ringgit golek, ringgit klithik, dan masih banyak lagi.
     Selain dapat menjadi hiburan, wayang juga dapat menjadi sebuah pitutur luhur bagi masyarakat Jawa. Karena kisah-kisah yang diceritakan penuh dengan nilai-nilai kehidupan, baik secara tersirat maupun tersurat. Nilai-nilai yang tersurat dalam kesenian wayang dapat kita peroleh melalui kisah yang diceritakan oleh sang dhalang. Seperti misalnya yang terdapat dalam kisah Ramayana. Kisah tersebut salah satunya mengajarkan manusia untuk selalu memegang teguh kepercayaan. Rama yang merupakan seorang raja harus menyesali perbuatannya karena telah meragukan kesetiaan Dewi Shinta, istrinya. Shinta yang cantik jelita diceritakan telah dicuri oleh raksasa jahat yang bernama Rahwana. Hasutan demi hasutan yang mengatakan bahwa Shinta telah berhasil disetubuhi Rahwana perlahan terdengar sampai ke telinga Rama. Shinta sudah berulangkali mencoba meyakinkan Rama bahwa ia masih tetap suci dan selalu setia kepada Rama. Namun, Rama tetap tidak percaya dan meminta Shinta untuk membuktikan kebenaran perkataannya melalui cara-cara yang tidak masuk akal, seperti melewati api suci. Benar saja, Shinta berhasil melewati api suci tanpa setitik pun dari tubuhnya terbakar. Akan tetapi, lagi-lagi hasutan datang dan Rama kembali meragukan Shinta. Sehingga pada akhirnya, Shinta dengan tegas mengatakan kepada Rama dengan disaksikan oleh seluruh rakyatnya bahwa ia berasal dari bumi dan akan kembali kepada bumi. Jika ia telah berkata jujur, maka bumi yang baik akan menerimanya dengan baik. Namun, jika ia tidak berkata jujur, maka bumi yang baik akan menolaknya dengan keras. Dan ternyata, bumi menerima Shinta dengan baik. Shinta terkubur dan kembali ke perut bumi disertai dengan penyesalan Rama. Itu adalah salah satu nilai atau amanah yang dapat kita ambil dari kisah pewayangan.
     Sedangkan nilai-nilai yang tersirat dapat kita peroleh melalui memahami arti filosofis dari alat-alat yang digunakan. Jika kita melihat bentuk wayang secara dekat, maka kita akan takjub dengan bentuknya yang indah. Wayang tersebut dibuat dari kulit yang ditatah sedemikian rupa, sehingga berbeda dari tokoh yang satu dengan tokoh yang lainnya. Ditambah lagi dengan paduan warna yang sesuai. Wayang terdiri dari beragam ukuran dari yang terbesar hingga yang terkecil, serta dari beragam watak manusia dari yang paling baik hingga yang paling jahat. Biasanya tokoh wayang jahat bentuk wajahnya menyeramkan dan diidentikkan dengan mukanya yang merah.
     Namun, coba kita perhatikan disetiap pagelaran wayang. Wayang-wayang yang siap dimainkan diletakkan berjejer di depan layar, agak lebih tinggi dari kepala dhalang. Dan di dekat layar dipasangkan sebuah lampu minyak yang digunakan untuk membuat bayangan dari tokoh-tokoh wayang di balik layar. Sehingga bayangan tersebut dapat dinikmati oleh para pengunjung. Jadi, singkatnya yang diperlihatkan atau yang disaksikan ketika melihat wayang adalah bayangannya.
     Dari situ dapat kita peroleh sebuah pelajaran, bahwa manusia hidup di dunia, berhubungan dengan sesama, yang seharusnya dilihat adalah solah bawa atau tingkah lakunya. Masalah fisik, pakaian, gelar, itu tidak berarti apa-apa. Wayang terukir bagus, namun yang diperlihatkan darinya hanyalah bayangan yang merupakan tingkah lakunya. Maka ukiran yang terdapat padanya tidaklah berarti jika tingkah lakunya buruk.
     Keistimewaan lain yang dimiliki kesenian yang satu ini adalah kehebatannya menyatukan masyarakat pada zaman dahulu. Bahkan ada  yang menyebutkan bahwa wayang termasuk suatu "compelling religious mythology", yang menyatukan masyarakat Jawa secara menyeluruh. Secara horisontal meliputi seluruh daerah geografis di Jawa, dan secara vertikal meliputi semua golongan sosial masyarakat Jawa. (Anderson 1965: 5). Ketika kesenian wayang digelar dalam suatu tempat, maka masyarakat Jawa pada zaman dahulu berbondong-bondong untuk menyaksikannya bersama-sama. Tidak peduli apakah ia dari golongan priyayi atau rakyat biasa, mereka bersama-sama menikmati kesenian wayang hingga subuh menjelang.


Wallahua'lam

Sabtu, 06 Februari 2016

Puisi; Tentang Rindu

Pagi hari aku merindu
Bersama dengan rekahan sinar matahari, kusampaikan rasa rindu itu melalui kokok ayam yang ternyata tak kau dengar

Siang kemudian aku masih merindu
Disaksikan oleh burung-burung, pohon-pohon, gunung-pegunungan, hingga laut dan gumuk pasir
Kusampaikan kembali maksud hati kepadamu lewat angin yang ternyata kau lewatkan

Sore harinya aku masih saja merindu
Ditemani lembayung jingga tanda senja dan secangkir kopi kesukaanmu
Aku berharap kau juga menatap senja dan menikmati kopimu
Benar saja kau menikmati kopimu, sayang
Namun tidak dengan menatap senja
Maka kerinduanku kembali tak tersampaikan

Malam ini aku lagi-lagi merindu
Lewat bintang aku tak mungkin menyapamu
Karena aku tahu, kau tak sedang membaca langit atau tak sempat membaca langit
Lalu kuputuskan untuk menyapamu lewat bahasa dalam buku yang tengah kau baca
Entah buku apa, itu tebal sekali
Namun, ku urungkan niat
Karena aku tidak inging mengganggu kerinduanmu kepadanya
Helaian kertas...

Kamis, 04 Februari 2016

Quote menarik dalam buku Pengakuan Pariyem

     Pada suatu hari, saya pernah membaca buku yang berjudul Pengakuan Pariyem; Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, yang ditulis oleh Linus Suryadi Ag. Buku tersebut menceritakan tentang kisah seorang yang bernama Pariyem, yang merupakan budak di salah satu keluarga priyayi di daerah Yogyakarta. Pariyem digambarkan sebagai wanita yang sangat lugu dan nrimo ing pandum, sesuai dengan ciri khas wanita Jawa pada umumnya.
Dalam buku tersebut, saya berhasil menemukan quote-quote yang sangat menarik, seperti "Wong Jerman gemar membunuh dengan mata dingin, Wong Jawa gemar membunuh dengan bibir tersenyum.". Kutipan tersebut senada dengan pernyataan kebanyakan orang yang mengatakan bahwa orang Jawa suka memendam unek-uneknya, sehingga ketika terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan hati, kebanyakan orang Jawa lebih memilih untuk diam dan tidak mengatakannya dengan terus terang. Dan ketika unek-uneknya sudah banyak menumpuk, lantas menjadi dendam kesumat yang dapat menyebabkan seseorang melakukan sesuatu yang tidak baik.
     Memang tidak salah, jika kebiasaan diam tersebut dimaksudkan untuk menjaga perasaan orang lain. Dari pada harus bertengkar dan mengeluarkan kata-kata kasar. Lagipula kebiasaan tersebut memang termasuk salah satu budaya Jawa yang terkenal dengan sebutan budaya ewuh pakewuh, yang mana kebudayaan tersebut memang mengajarkan manusia untuk senantiasa menjaga perasaan orang lain. Budaya ewuh pakewuh ini tercermin pada sikap yang selalu hormat-menghormati, dan tidak mengedepankan ego dalam berhubungan dengan orang lain. Namun, jika kebiasaan tersebut diterapkan secara berlebihan, justru akan menimbulkan sesuatu yang tidak baik karena terlalu banyak diam dan memendam perasaan.
Kembali ke quote "Wong Jawa gemar membunuh dengan bibir tersenyum", saya teringat tentang arti filosofis orang Jawa yang selalu mengenakan keris atau pusakanya di belakang punggung. Konon, itu mempunyai arti bahwa orang Jawa suka menusuk dari belakang. Entah hal tersebut benar atau tidak, namun jika dipikir-pikir, apa jadinya ya kalau keris dikenakan di depan???
Sebenarnya, keris yang dikenakan di belakang punggung memiliki arti filosofis yang agung. Karena hal tersebut mengajarkan kita untuk menyimpan atau mengesampingkan ego. Ini dimaksudkan secara tersirat dalam ajaran leluhur orang Jawa, bahwa manusia dalam hal berfikir, berpendapat, dan bertindak diharapkan dapat lebih bijaksana. Karena dengan menaruh keris di belakang, kita diharapakan dapat membelakangkan emosi, ego, dan amarah dalam sesrawung dengan teman maupun keluarga.
     Quote selanjutnya yang tidak kalah menarik perhatian saya adalah "Wong Jawa kok takon dosa! Kui Wong Jawa sing ora Njawani". Jika dibahasa indonesiakan kira-kira seperti ini "orang Jawa kok bertanya tentang dosa! Itu berarti orang Jawa yang tidak mengenal Jawa yang sesungguhnya (tidak mengamalkan adat-istiadat Jawa)". Quote yang menurut saya sarat makna tersebut merupakan salah satu petuah yang diajarkan oleh nenek Pariyem kepada Pariyem, ketika neneknya tersebut masih hidup.
     Menurut penafsiran saya, dalam quote tersebut terdapat dua hal yang perlu di perhatikan, yang pertama adalah konsep agama, sedangkan yang kedua adalah konsep adat. Agama merupakan panduan hidup atau sistem yang mengatur tata kepercayaan dan peribadatan manusia kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, serta yang mengatur hubungan antar sesama manusia, maupun hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Dalam agama ada yang dinamakan dengan dosa, seperti yang disebut dalam quote diatas, yang dapat diartikan sebagai konsekwensi yang harus diterima oleh manusia yang melanggar aturan agama tertentu. Dosa tersebut merupakan hukuman atau sanksi yang berasal dari Tuhan. Sedangkan Adat merupakan aturan yang lazim dilaksanakan oleh manusia sejak dahulu kala, dan sudah menjadi kebiasaan. Sanksi atas pelanggaran adat dapat berupa hukuman adat sesuai dengan adat di masing-masing daerah, serta sanksi sosial yang hampir di semua daerah sama. Sanksi sosial tersebut dapat berupa dikucilkan dari pergaulan, digunjing, dan lain sebagainya.
     Jika kita perhatikan, maksud agama dan adat istiadat tidaklah jauh berbeda. Keduanya sama-sama bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia, yang membedakan hanyalah sanksi atas pelanggarannya. Sejauh yang saya baca dalam buku karangan Koentjaraningrat yang berjudul Kebudayaan Jawa, adat istiadat yang menjadi tata aturan orang jawa tidak jauh-jauh dari ajaran agama islam. Salah satu contohnya adalah perempuan yang belum menikah, ketika keluar dengan seorang laki-laki yang bukan muhrimnya harus disertai kerabatnya.
     Jadi, disini saya berkesimpulan bahwa adat istiadat Jawa sebenarnya sejalan dengan aturan yang ada dalam agama. Sehingga, ketika seseorang melanggar adat kebiasaan Jawa, itu berarti secara tidak langsung  ia juga melanggar aturan agama. Demikian pula sebaliknya, ketika seseorang melanggar aturan agama, itu berarti secara tidak langsung ia juga melanggar adat Jawa.
Oleh karena itu, quote "Wong Jawa kok takon dosa! Kui wong Jawa sing ora Njawani", dapat saya artikan bahwa ketika orang Jawa sudah mengenal Jawa beserta dengan adat kebiasaannya, juga berperilaku sesuai dengan adatnya, maka secara tidak langsung ia juga sudah berperilaku sesuai dengan aturan dalam agama. Maka tidaklah salah, jika ada orang Jawa dijuluki tidak Njawani ketika dia bertanya tentang perbuatan dosa. "apakah ini dosa?" "apakah itu dosa?", dan lain sebagainya, karena itu berarti ia tidak mengenal adat Jawa.

Wallahua'lam....