Asal-usul Desa Watuaji
Pada kesempatan kali ini, saya akan
menceritakan tentang asal-usul Desa Watuaji yang merupakan desa kelahiran saya
20 tahun silam. Desa Watuaji adalah sebuah Desa kecil yang termasuk ke dalam
daerah pemerintahan Kabupaten Jepara. Desa ini terletak di kaki gunung Muria
bagian utara, sehingga termasuk daerah pertanian yang subur.
Dilihat dari namanya, Watuaji
berarti batu yang berharga atau batu yang dianggap bertuah. Penamaan desa ini
konon berawal dari sebuah kisah yang terjadi pada zaman dahulu, yang hingga
sekarang masih beredar dan dipercaya oleh masyarakat setempat.
Konon, pada zaman dahulu wali songo
dalam upayanya menyebarkan agama islam hendak membangun masjid di daerah
tersebut. Rencananya, pembangunan masjid akan dilaksanakan dalam waktu semalam.
Kebetulan malam itu malam bulan purnama, sehingga pada waktu subuh sudah
seperti pagi hari. Ayam-ayam pun mulai berkokok, dan masyarakat setempat juga
sudah memulai aktivitasnya menumbuk padi dan menjemur kapas. Melihat ulah masyarakat,
para wali pun marah dan menendang masjid yang hampir terselesaikan itu.
Akhirnya material masjid pun terpental dan berubah menjadi batu.
Material masjid yang ditendang dan
menjadi batu tersebut tersebar di berbagai tempat di sepanjang aliran sungai
Pedot. Bentuknya pun bermacam-macam, ada yang seperti tiang penyangga sehingga
dinamakan watu soko, ada yang seperti
dinding sehingga dinamakan watu gebyok,
ada pula yang mirip seperti pintu sehingga dinamakan watu lawang, dan masih banyak lagi. Karena banyaknya batu-batu yang
dipercaya sebagai material masjid ini lah yang kemudian menjadi akar dari
penamaan desa Watuaji, yaitu desa dengan batu yang bertuah.
Karena marah dan kesal, para wali
tidak hanya menendang bangunan masjid, namun juga mengutuk warga desa yang
menjemur kapas bahwa sampai tua tidak akan menikah. Daerah yang terkena kutukan
tersebut dinamakan daerah Brengkel, yang berarti julukan bagi orang yang sampai
tua tidak menikah. Hingga kini daerah tersebut masih ada beserta namanya dan
termasuk salah satu perdukuhan di desa Watuaji. Dulu, masyarakat di daerah ini
memang dikenal baru menikah di usia tua, akan tetapi lama-kelamaan kutukan
tersebut luntur.
Tentang
kebenaran cerita tersebut, sampai saat ini belum ada bukti yang autentik.
Pasalnya, dalam cerita wali songo pun setahu saya tidak pernah menyinggung
peristiwa ini. Namun, demikianlah cerita yang beredar dan dipercaya oleh
masyarakat setempat.
Pada
halaman akhir, saya melampirkan beberapa foto batu-batu yang ada di Desa
Watuaji. Bentuk-bentuknya memang unik, berbeda dari batu-batu biasanya. Oleh
karena itu, ada yang berpendapat bahwa batu-batu yang berada di desa Watuaji
sebenarnya bukan material masjid para wali, akan tetapi peninggalan kerajaan
Kalingga pada abad ke-5 M yang pada waktu itu dipimpin oleh Ratu Shima.
Pendapat tersebut diperkuat dengan ditemukannya petilasan-petilasan di desa
Tempur, yaitu sebuah desa yang terletak disebelah selatan desa Watuaji.
Akan
tetapi, kebenarannya pun belum dapat dipastikan, karena sampai saat ini belum
ada arkeolog yang meneliti batu-batu di desa Watuaji. Para arkeolog hanya
sebatas meneliti petilasan yang berada di desa Tempur saja. Sampai saat sudah
dilakukan penelitian, barulah dapat dipastikan apakah usia batu-batu yang
berada di daerah Watuaji sama dengan usia berdirinya kerajaan demak yang
berarti memang benar ada kaitannya dengan kisah para wali, atau usianya sama
dengan usia berdirinya kerajaan Kalingga yang berarti bahwa batu-batu tersebut
adalah peninggalan sejarah Ratu Shima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar