Kamis, 04 Februari 2016

Quote menarik dalam buku Pengakuan Pariyem

     Pada suatu hari, saya pernah membaca buku yang berjudul Pengakuan Pariyem; Dunia Batin Seorang Wanita Jawa, yang ditulis oleh Linus Suryadi Ag. Buku tersebut menceritakan tentang kisah seorang yang bernama Pariyem, yang merupakan budak di salah satu keluarga priyayi di daerah Yogyakarta. Pariyem digambarkan sebagai wanita yang sangat lugu dan nrimo ing pandum, sesuai dengan ciri khas wanita Jawa pada umumnya.
Dalam buku tersebut, saya berhasil menemukan quote-quote yang sangat menarik, seperti "Wong Jerman gemar membunuh dengan mata dingin, Wong Jawa gemar membunuh dengan bibir tersenyum.". Kutipan tersebut senada dengan pernyataan kebanyakan orang yang mengatakan bahwa orang Jawa suka memendam unek-uneknya, sehingga ketika terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan hati, kebanyakan orang Jawa lebih memilih untuk diam dan tidak mengatakannya dengan terus terang. Dan ketika unek-uneknya sudah banyak menumpuk, lantas menjadi dendam kesumat yang dapat menyebabkan seseorang melakukan sesuatu yang tidak baik.
     Memang tidak salah, jika kebiasaan diam tersebut dimaksudkan untuk menjaga perasaan orang lain. Dari pada harus bertengkar dan mengeluarkan kata-kata kasar. Lagipula kebiasaan tersebut memang termasuk salah satu budaya Jawa yang terkenal dengan sebutan budaya ewuh pakewuh, yang mana kebudayaan tersebut memang mengajarkan manusia untuk senantiasa menjaga perasaan orang lain. Budaya ewuh pakewuh ini tercermin pada sikap yang selalu hormat-menghormati, dan tidak mengedepankan ego dalam berhubungan dengan orang lain. Namun, jika kebiasaan tersebut diterapkan secara berlebihan, justru akan menimbulkan sesuatu yang tidak baik karena terlalu banyak diam dan memendam perasaan.
Kembali ke quote "Wong Jawa gemar membunuh dengan bibir tersenyum", saya teringat tentang arti filosofis orang Jawa yang selalu mengenakan keris atau pusakanya di belakang punggung. Konon, itu mempunyai arti bahwa orang Jawa suka menusuk dari belakang. Entah hal tersebut benar atau tidak, namun jika dipikir-pikir, apa jadinya ya kalau keris dikenakan di depan???
Sebenarnya, keris yang dikenakan di belakang punggung memiliki arti filosofis yang agung. Karena hal tersebut mengajarkan kita untuk menyimpan atau mengesampingkan ego. Ini dimaksudkan secara tersirat dalam ajaran leluhur orang Jawa, bahwa manusia dalam hal berfikir, berpendapat, dan bertindak diharapkan dapat lebih bijaksana. Karena dengan menaruh keris di belakang, kita diharapakan dapat membelakangkan emosi, ego, dan amarah dalam sesrawung dengan teman maupun keluarga.
     Quote selanjutnya yang tidak kalah menarik perhatian saya adalah "Wong Jawa kok takon dosa! Kui Wong Jawa sing ora Njawani". Jika dibahasa indonesiakan kira-kira seperti ini "orang Jawa kok bertanya tentang dosa! Itu berarti orang Jawa yang tidak mengenal Jawa yang sesungguhnya (tidak mengamalkan adat-istiadat Jawa)". Quote yang menurut saya sarat makna tersebut merupakan salah satu petuah yang diajarkan oleh nenek Pariyem kepada Pariyem, ketika neneknya tersebut masih hidup.
     Menurut penafsiran saya, dalam quote tersebut terdapat dua hal yang perlu di perhatikan, yang pertama adalah konsep agama, sedangkan yang kedua adalah konsep adat. Agama merupakan panduan hidup atau sistem yang mengatur tata kepercayaan dan peribadatan manusia kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, serta yang mengatur hubungan antar sesama manusia, maupun hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Dalam agama ada yang dinamakan dengan dosa, seperti yang disebut dalam quote diatas, yang dapat diartikan sebagai konsekwensi yang harus diterima oleh manusia yang melanggar aturan agama tertentu. Dosa tersebut merupakan hukuman atau sanksi yang berasal dari Tuhan. Sedangkan Adat merupakan aturan yang lazim dilaksanakan oleh manusia sejak dahulu kala, dan sudah menjadi kebiasaan. Sanksi atas pelanggaran adat dapat berupa hukuman adat sesuai dengan adat di masing-masing daerah, serta sanksi sosial yang hampir di semua daerah sama. Sanksi sosial tersebut dapat berupa dikucilkan dari pergaulan, digunjing, dan lain sebagainya.
     Jika kita perhatikan, maksud agama dan adat istiadat tidaklah jauh berbeda. Keduanya sama-sama bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia, yang membedakan hanyalah sanksi atas pelanggarannya. Sejauh yang saya baca dalam buku karangan Koentjaraningrat yang berjudul Kebudayaan Jawa, adat istiadat yang menjadi tata aturan orang jawa tidak jauh-jauh dari ajaran agama islam. Salah satu contohnya adalah perempuan yang belum menikah, ketika keluar dengan seorang laki-laki yang bukan muhrimnya harus disertai kerabatnya.
     Jadi, disini saya berkesimpulan bahwa adat istiadat Jawa sebenarnya sejalan dengan aturan yang ada dalam agama. Sehingga, ketika seseorang melanggar adat kebiasaan Jawa, itu berarti secara tidak langsung  ia juga melanggar aturan agama. Demikian pula sebaliknya, ketika seseorang melanggar aturan agama, itu berarti secara tidak langsung ia juga melanggar adat Jawa.
Oleh karena itu, quote "Wong Jawa kok takon dosa! Kui wong Jawa sing ora Njawani", dapat saya artikan bahwa ketika orang Jawa sudah mengenal Jawa beserta dengan adat kebiasaannya, juga berperilaku sesuai dengan adatnya, maka secara tidak langsung ia juga sudah berperilaku sesuai dengan aturan dalam agama. Maka tidaklah salah, jika ada orang Jawa dijuluki tidak Njawani ketika dia bertanya tentang perbuatan dosa. "apakah ini dosa?" "apakah itu dosa?", dan lain sebagainya, karena itu berarti ia tidak mengenal adat Jawa.

Wallahua'lam....





1 komentar:

  1. Kalo aku nilai tulisanmu malah jauh lebih baik dari tulisanku.. Mantap fik..

    BalasHapus