Sabtu, 14 Mei 2016

Budaya Penulisan Alay di Facebook



Fenomena tulisan alay bukanlah hal yang asing ditelinga kita. Tulisan dan bahasa alay banyak digunakan oleh remaja yang baru memasuki masa pubertas. Kebanyakan dari mereka yang baru mengenal dunia maya, pasti menggunakan tulisan alay untuk mengungkapkan apa yang mereka rasakan di status atau kronologi facebooknya, maupun ketika mengirim pesan kepada teman. Dalam proses pengamatan yang saya lakukan di facebook, banyak sekali remaja-remaja yang menulis dengan huruf maupun bahasa alay. Objek yang saya amati adalah rekan-rekan yang saya kenal. Hal ini bertujuan supaya hasil pengamatan lebih akurat karena tidak tertipu dengan profil pengguna yang biasanya menipu.

Alasan saya memilih facebook sebagai objek pengamatan adalah karena aplikasi tersebut merupakan aplikasi dengan pengguna terbesar di Indonesia. Penggunaan facebook yang mudah dengan fiture yang menarik menjadikan aplikasi ini sangat populer terutama bagi remaja yang baru mengenal dunia maya.

Selain itu, keuntungan pengamatan melalui akun facebook untuk melihat fenomena tulisan alay adalah kita tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mengamati. Karena dalam aplikasi tersebut, kita sudah bisa melihat jejak status yang diupdate pengguna dengan cukup menscroll mouse ke bawah. Jadi, kita bisa melihat perubahan penulisan seseorang seiring dengan bertambahnya usia dan perubahan lingkungannya.

Fenomena tulisan alay tentunya bukan tanpa sebab. Lingkungan yang ada di sekeliling turut berperan aktif dalam pembentukan budaya menulis alay di kalangan remaja. Akan tetapi, uniknya fenomena ini akan berubah seiring bertambahnya usia seseorang yang dipengaruhi kuat oleh lingkungan di mana seseorang berada. Dalam tulisan ini saya akan menjelaskan bagaimana proses terbentuknya budaya menulis alay hingga fase lunturnya budaya menulis alay dalam diri seorang remaja.

Dalam proses pengamatan, saya menggunakan perspektif negosiasi identitas dengan pendekatan sosial budaya. Negoisasi identitas merupakan proses interaksi transaksional di mana para individu dalam suatu situasi antarbudaya mencoba memaksakan, mendefinisikan, mengubah, menantang, dan/atau mendukung citra diri yang diinginkan pada mereka atau orang lain.

Remaja yang baru mengenal dunia maya, disadari ataupun tidak akan mengalami proses negosiasi dengan budaya yang ada. Budaya yang ada, dalam hal ini adalah budaya menulis alay yang sudah dilakukan oleh remaja sebelumnya dan menjadi identitasnya. Dalam pendekatan sosial budaya dijelaskan bahwa untuk memperoleh rasa aman, individu akan melakukan afiliasi dengan kelompok yang dinilai lebih kuat. Hal ini juga dapat mempengaruhi proses negosiasi dalam diri seorang remaja baru. Sehingga untuk memperoleh rasa aman remaja baru akan mendukung citra diri yang ada dalam kelompok remaja lama sebagai kelompok dengan identitas tulisan alaynya.

Ketika remaja sebelumnya menggunakan bahasa alay untuk menunjukkan eksistensinya di facebook, maka remaja baru akan mengikutinya agar dapat diterima di lingkungan tersebut. Pada masa negosiasi ini, remaja baru telah melakukan proses komunikasi intrapersonal yang berupa pertimbangan apakah akan mendukung atau menentang budaya menulis alay, yang kemudian diikuti dengan komunikasi antarpersonal dengan remaja yang lain manakala ia sudah menerima dan mulai berbaur dengan kelompok tersebut. Ia akan mengikuti budaya menulis alay dan menggunakannya sebagai upaya untuk menunjukkan eksistensinya.

Akan tetapi, budaya menulis alay ini hanya bertahan beberapa saat saja. Setelah seseorang sudah melewati masa remajanya, kebiasaan menulis dan menggunakan bahasa alay perlahan menghilang. Biasanya fase ini dimulai ketika remaja sudah memasuki dunia perkuliahan. Mereka sudah mulai menggunakan bahasa baik dan benar yang dimengerti orang pada umumnya.

Menghilangnya budaya menulis alay dalam diri seseorang juga bukan tanpa sebab. Ia mengalami proses yang sama seperti pada saat memasuki usia remaja. Ia akan melakukan negosiasi dengan budaya baru, yaitu budaya menulis dengan baik dan benar. Hal yang sangat berpengaruh bukan lagi pencarian eksistensi yang dulu dilakukan pada saat remaja, melainkan iklim akademik yang merubah seseorang menjadi lebih ideologis. Ketika remaja tersebut tidak mau menerima budaya baru dan masih mempertahankan budaya lamanya, dalam hal ini budaya menulis dan berbahasa alay, maka ada konsekwensi tersendiri yang harus ia terima. Sehingga, untuk memperoleh rasa aman, ia kembali menerima budaya baru dan masuk menjadi salah satu bagian di dalamnya.

Para remaja yang mulai masuk ke dalam dunia perkuliahan, perlahan akan melakukan penyesuaian terhadap lingkungan barunya. Teman-teman bergaul bukan lagi anak-anak alay, melainkan kaum-kaum intelektual. Sehingga yang dibutuhkan bukan lagi mencari formulasi bahasa alay yang baru, melainkan pola berfikir yang kritis. Oleh karena itu lah budaya tulisan alay perlahan terkikis dan tergantikan dengan budaya baru. Namun, budaya tulisan alay tetap ada karena diwariskan kepada generasi-generasi remaja setelahnya.

Selama proses pengamatan, saya menyimpulkan bahwa perubahan budaya pada diri seseorang sebenarnya tidak terikat oleh usia, melainkan lingkungan dimana seseorang itu tinggal. Namun, bukan berarti usia sama sekali tidak berpengaruh dalam proses pembentukan budaya dalam diri seseorang. Anak-anak yang baru memasuki masa remaja, yang kemudian menjadi alay karena mengikuti budaya remaja sebelumnya, kebanyakan karena mereka memiliki akses yang mendukung seperti memiliki smartphone. Namun berbeda dengan remaja yang tidak memilikinya.

Begitupun pada saat remaja sudah mulai memasuki masa dewasa, tidak semua dari mereka akan meninggalkan kebiasaan menulis alay. Banyak sekali orang-orang yang sudah dewasa namun masih menggunakan bahasa atau pun tulisan alay di media sosial. Hal ini saya temukan pada saat melakukan pengamatan, bahwa ada beberapa ibu rumah tangga yang bahkan sudah memiliki anak namun masih menggunakan bahasa dan tulisan alay. Rupa-rupanya ibu rumah tangga tersebut hanya lulus Sekolah Menengah Atas.

Sama halnya dengan teman-teman sejawat penulis yang tidak melanjutkan studinya di perguruan tinggi. Mereka juga masih tetap menggunakan tulisan dan bahasa alay sebagai wujud upaya untuk menunjukkan eksistensinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar