Fenomena
tulisan alay bukanlah hal yang asing ditelinga kita. Tulisan dan bahasa alay
banyak digunakan oleh remaja yang baru memasuki masa pubertas. Kebanyakan dari
mereka yang baru mengenal dunia maya, pasti menggunakan tulisan alay untuk mengungkapkan
apa yang mereka rasakan di status atau kronologi facebooknya, maupun ketika
mengirim pesan kepada teman. Dalam proses pengamatan yang saya lakukan di facebook,
banyak sekali remaja-remaja yang menulis dengan huruf maupun bahasa alay. Objek
yang saya amati adalah rekan-rekan yang saya kenal. Hal ini bertujuan supaya
hasil pengamatan lebih akurat karena tidak tertipu dengan profil pengguna yang
biasanya menipu.
Alasan
saya memilih facebook sebagai objek pengamatan adalah karena aplikasi tersebut
merupakan aplikasi dengan pengguna terbesar di Indonesia. Penggunaan facebook
yang mudah dengan fiture yang menarik menjadikan aplikasi ini sangat populer
terutama bagi remaja yang baru mengenal dunia maya.
Selain
itu, keuntungan pengamatan melalui akun facebook untuk melihat fenomena tulisan
alay adalah kita tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mengamati. Karena
dalam aplikasi tersebut, kita sudah bisa melihat jejak status yang diupdate
pengguna dengan cukup menscroll mouse ke bawah. Jadi, kita bisa melihat
perubahan penulisan seseorang seiring dengan bertambahnya usia dan perubahan
lingkungannya.
Fenomena
tulisan alay tentunya bukan tanpa sebab. Lingkungan yang ada di sekeliling
turut berperan aktif dalam pembentukan budaya menulis alay di kalangan remaja. Akan
tetapi, uniknya fenomena ini akan berubah seiring bertambahnya usia seseorang
yang dipengaruhi kuat oleh lingkungan di mana seseorang berada. Dalam tulisan
ini saya akan menjelaskan bagaimana proses terbentuknya budaya menulis alay
hingga fase lunturnya budaya menulis alay dalam diri seorang remaja.
Dalam
proses pengamatan, saya menggunakan perspektif negosiasi identitas dengan
pendekatan sosial budaya. Negoisasi identitas merupakan proses interaksi
transaksional di mana para individu dalam suatu situasi antarbudaya mencoba
memaksakan, mendefinisikan, mengubah, menantang, dan/atau mendukung citra diri
yang diinginkan pada mereka atau orang lain.
Remaja
yang baru mengenal dunia maya, disadari ataupun tidak akan mengalami proses
negosiasi dengan budaya yang ada. Budaya yang ada, dalam hal ini adalah budaya
menulis alay yang sudah dilakukan oleh remaja sebelumnya dan menjadi
identitasnya. Dalam pendekatan sosial budaya dijelaskan bahwa untuk memperoleh
rasa aman, individu akan melakukan afiliasi dengan kelompok yang dinilai lebih
kuat. Hal ini juga dapat mempengaruhi proses negosiasi dalam diri seorang
remaja baru. Sehingga untuk memperoleh rasa aman remaja baru akan mendukung
citra diri yang ada dalam kelompok remaja lama sebagai kelompok dengan
identitas tulisan alaynya.
Ketika
remaja sebelumnya menggunakan bahasa alay untuk menunjukkan eksistensinya di
facebook, maka remaja baru akan mengikutinya agar dapat diterima di lingkungan
tersebut. Pada masa negosiasi ini, remaja baru telah melakukan proses komunikasi
intrapersonal yang berupa pertimbangan apakah akan mendukung atau menentang
budaya menulis alay, yang kemudian diikuti dengan komunikasi antarpersonal dengan
remaja yang lain manakala ia sudah menerima dan mulai berbaur dengan kelompok
tersebut. Ia akan mengikuti budaya menulis alay dan menggunakannya sebagai
upaya untuk menunjukkan eksistensinya.
Akan
tetapi, budaya menulis alay ini hanya bertahan beberapa saat saja. Setelah
seseorang sudah melewati masa remajanya, kebiasaan menulis dan menggunakan
bahasa alay perlahan menghilang. Biasanya fase ini dimulai ketika remaja sudah
memasuki dunia perkuliahan. Mereka sudah mulai menggunakan bahasa baik dan
benar yang dimengerti orang pada umumnya.
Menghilangnya
budaya menulis alay dalam diri seseorang juga bukan tanpa sebab. Ia mengalami
proses yang sama seperti pada saat memasuki usia remaja. Ia akan melakukan
negosiasi dengan budaya baru, yaitu budaya menulis dengan baik dan benar. Hal
yang sangat berpengaruh bukan lagi pencarian eksistensi yang dulu dilakukan
pada saat remaja, melainkan iklim akademik yang merubah seseorang menjadi lebih
ideologis. Ketika remaja tersebut tidak mau menerima budaya baru dan masih
mempertahankan budaya lamanya, dalam hal ini budaya menulis dan berbahasa alay,
maka ada konsekwensi tersendiri yang harus ia terima. Sehingga, untuk
memperoleh rasa aman, ia kembali menerima budaya baru dan masuk menjadi salah
satu bagian di dalamnya.
Para
remaja yang mulai masuk ke dalam dunia perkuliahan, perlahan akan melakukan
penyesuaian terhadap lingkungan barunya. Teman-teman bergaul bukan lagi
anak-anak alay, melainkan kaum-kaum intelektual. Sehingga yang dibutuhkan bukan
lagi mencari formulasi bahasa alay yang baru, melainkan pola berfikir yang
kritis. Oleh karena itu lah budaya tulisan alay perlahan terkikis dan
tergantikan dengan budaya baru. Namun, budaya tulisan alay tetap ada karena
diwariskan kepada generasi-generasi remaja setelahnya.
Selama
proses pengamatan, saya menyimpulkan bahwa perubahan budaya pada diri seseorang
sebenarnya tidak terikat oleh usia, melainkan lingkungan dimana seseorang itu
tinggal. Namun, bukan berarti usia sama sekali tidak berpengaruh dalam proses
pembentukan budaya dalam diri seseorang. Anak-anak yang baru memasuki masa
remaja, yang kemudian menjadi alay karena mengikuti budaya remaja sebelumnya,
kebanyakan karena mereka memiliki akses yang mendukung seperti memiliki smartphone. Namun berbeda dengan remaja yang tidak memilikinya.
Begitupun
pada saat remaja sudah mulai memasuki masa dewasa, tidak semua dari mereka akan
meninggalkan kebiasaan menulis alay. Banyak sekali orang-orang yang sudah
dewasa namun masih menggunakan bahasa atau pun tulisan alay di media sosial.
Hal ini saya temukan pada saat melakukan pengamatan, bahwa ada beberapa ibu
rumah tangga yang bahkan sudah memiliki anak namun masih menggunakan bahasa dan
tulisan alay. Rupa-rupanya ibu rumah tangga tersebut hanya lulus Sekolah
Menengah Atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar