Kamis, 19 Mei 2016

Hukuman Kebiri bagi Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak

Dewasa ini, kekerasan seksual terhadap anak banyak sekali terjadi di Indonesia. Seperti yang terjadi pada bulan April silam, seorang anak yang berinisial YY (14), diperkosa dan dibunuh oleh 14 remaja di Kabupaten Bengkulu. Kemudian di Bogor, seorang bocah berumur 2,5 tahun juga diperkosa dan dibunuh oleh tetangganya sendiri. Dan baru-baru ini yang masih hangat adalah berita tentang anak kelas 1 SMP di Surabaya yang diperkosa 8 orang anak. Ironisnya, diantara pelaku tersebut ada yang masih berumur 9 tahun. Dan tentunya masih banyak lagi kasus-kasus yang lain.

Kemunculan peristiwa-peristiwa tersebut, sontak membuat masyarakat Indonesia kaget dan geram. Betapa tidak, generasi bangsa yang diharapkan mampu meneruskan keberlangsungan negara ini, harus menutup umurnya di usia yang masih belia. Juga para pelaku yang mayoritas anak di bawah umur tersebut, harus berhadapan dengan proses hukum.

Memang tidak mudah menghadapi kasus seperti ini. Di satu sisi, masyarakat menginginkan hukuman yang seberat-beratnya terhadap pelaku, bahkan ada yang menginginkan para pelaku untuk dihukum kebiri. Akan tetapi hukuman tersebut  saat ini tengah menghadapi pro dan kontra. Di sisi yang lain, persoalan usia para pelaku yang masih dibawah umur, menyebabkan kesulitan dalam mengambil keputusan atas hukuman yang akan diberikan, apalagi hukuman kebiri.

Dilansir dari kompas.com (4/5), Ketua Majlis Permusyawaratan Rakyat, Zulkifli Hasan berpendapat bahwa hukuman kebiri belum tentu membuat pelaku kejahatan seksual menjadi jera. Pasalnya, belum ada bukti akurat yang mengatakan bahwa hukuman kebiri dapat membuat pelaku kejahatan seksual menjadi jera.

Wacana untuk menjatuhkan hukuman kebiri terhadap pelaku kekerasan seksual sebenarnya sudah lama diperbicangkan. Pada bulan Oktober 2015, dalam situs rappler.com telah dimuat sebuah artikel tentang pro dan kontra hukuman kebiri. Banyak tokoh masyarakat yang turut ambil suara mengenai wacana pengebirian tersebut.

Dalam rappler.com, dr. Boyke menyatakan ketidaksetujuannya terhadap hukuman kebiri dengan alasan bahwa pelaku kejahatan seksual masih berpotensi melakukan aksi kejahatannya selama kondisi mentalnya tidak diobati. Lain lagi dengan Masruchah, anggota Komnas Perempuan. Meskipun sama-sama kontra, Masruchah lebih beralasan kepada pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Berbeda dengan Arist Merdeka Sirait, Ketua Komnas Perlindungan Anak. Ia yakin bahwa hukuman kebiri sebagai pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual pada anak dapat mengurangi kasus kekerasan pada anak. Akan tetapi, baru-baru ini melalui kompas.com (7/5) ia meminta kepada pemerintah dan seluruh elemen masyarakat untuk lebih fokus untuk mencari akar masalah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Arist beranggapan bahwa pencarian akar permasalahan lebih penting dari pada memperdebatkan revisi UU Perlindungan Anak, ataupun memperdebatkan mengenai hukuman-hukuman lainnya.

Adanya perdebatan mengenai hukuman apa yang pantas dijatuhkan kepada pelaku kekerasan seksual kepada anak bukanlah hal yang salah. Justru hal tersebut menunjukkan bahwa masih banyak orang yang peduli dengan masyarakat kita. Menginginkan kesejahteraan bersama tanpa adanya kejahatan, apalagi kejahatan terhadap anak penerus bangsa. Akan tetapi, terlepas dari hukuman apakah yang tepat, pencarian akar persoalan juga perlu dilakukan. Karena banyak sekali faktor yang dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan kejahatan seksual.

Seperti kasus YY di Bengkulu, salah satu faktor yang mendorong para pelaku untuk melakukan aksi kejinya adalah akibat mengonsumsi minuman keras yang berupa tuak. Kemudian kasus pemerkosaan anak kelas 1 SMP oleh 8 orang anak yang salah satunya masih berumur 9 tahun di Surabaya. Mereka melakukan aksinya setelah meminum pil koplo bersama-sama dan seringnya menonton konten porno melalui warung internet (warnet).

Ada apa sebenarnya dibalik semua ini? Dimana peran keluarga, masyarakat, dan pemerintah? Peristiwa yang bermunculan belakangan ini sangat miris bukan? Hal demikian tentunya bukan tanpa sebab. Kehidupan di muka bumi merupakan sebuah hukum kausalitas. Rendahnya kontrol keluarga terhadap anak, dapat mengakibatkan anak bergaul di luar batas. Lingkungan yang tidak mendukung anak untuk belajar juga dapat memicu perkara serupa. Lalu, bagaimana dengan pemerintah? Melalui program pendidikannya, pemerintah seharusnya mampu mengambil andil untuk mencegah anak-anak bangsa berbuat hal-hal yang melanggar seperti yang banyak terjadi sekarang ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar