Maka Pram, izinkan aku membalas
suratmu. Iya, aku ingin bercerita tentang nasib perawan remaja zaman sekarang.
Sama halnya denganmu, dengan berat hati
aku menulis surat ini. Tidak sepatutnya kau yang seharusnya sudah tenang di
alam sana, mendengar berita yang mengguncangkan, memilukan, menakutkan, dan
menyeramkan. Sama seperti yang terjadi pada tahun 1943 silam, dimana para
perawan remaja Indonesia (seperti yang kau ceritakan) harus terpaksa menjadi
budak seks balatentara Jepang. Memang, kami para perawan remaja masa kini hidup
di alam kemerdekaan. Jauh lebih merdeka jika dibandingkan dengan tahun dimana Indonesia
masih dijajah Dai Nippon yang kejam.
Akan tetapi, Pram, kekejaman dengan wajah
dan aktor baru kini bermunculan. Ada di antara kami para perawan remaja yang
hidup di bawah atap keluarga yang menyeramkan. Betapa tidak? Belakangan ini
bermunculan kasus-kasus seorang ayah yang tega mengangkangi anaknya sendiri. Betapa
tidak? Seorang ayah yang seharusnya melindungi, justru merusak masa depan
anaknya sendiri.
Tentang masyarakat yang kau sebut
akan memperhatikan kesejahteraan kami, para perawan remaja, tidak sepenuhnya
benar. Baiklah, akan aku ceritakan sebuah kisah memilukan yang terjadi bulan
lalu. Seorang anak berumur 14 tahun di Bengkulu, diperkosa hingga meninggal dunia
oleh 14 remaja yang merupakan tetangganya sendiri, masyarakatnya sendiri, anak
darah Indonesia sendiri, bukan orang lain, bukan bala tentara Dai Nippon. Anak darah
Indonesia sendiri!!!
Kemudian di Bogor, seorang bocah
berumur 2,5 tahun juga mengalami hal serupa. Bedanya si pelaku melakukan aksinya
seorang diri. Aku ingin tertawa sekaligus menangis, Pram, ku yakin kau pun
demikian. Jepang saja yang kau ceritakan amat kejam terhadap rakyat Indonesia
itu, masih pilih-pilih umur. Yah, kau bilang Jepang mencari perawan remaja yang
berumur 13-17 tahun bukan? Bukan main memang. Dan tentunya masih banyak
kejahatan lain yang mungkin akan aku tulis untukmu lain waktu.
Tidak Pram, tidak! Aku tidak
bermaksud untuk menyamakan kekejaman tentara Jepang dengan orang Indonesia. Jelas,
Jepang masih yang paling kejam. Seperti yang kau ceritakan, mereka mengangkut
para perawan remaja Indonesia dengan iming-iming hendak disekolahkan ke Tokyo
dan Shonanto. Padahal kenyataannya, dibawa berlayar ke pulau atau negara lain
untuk menjadi pemuas hasrat biadab balatentara Jepang. Jelas itu lebih kejam. Apalagi
setelah Jepang kalah dalam perang dunia II pada Agustus 1945, para gadis yang
diangkut dari Jawa dilepas seperti ayam, sedangkan pihak balatentara Jepang
berusaha keras untuk cuci tangan. Betapa mengerikannya itu.
Aku menulis surat ini hanya ingin
mengatakan kepadamu bahwa kami, para perawan remaja masih banyak yang mengalami
nasib buruk akibat kebiadaban lelaki. Batin kami lah yang lebih sakit,
tentunya. Karena kebiadaban tersebut dilakukan oleh bangsa kami sendiri. Aku jadi
teringat presiden pertama kita pernah mengatakan “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu akan
lebih sulit karena kamu melawan bangsamu sendiri”. Memang benar, lebih
sulit melawan bangsa sendiri, Pram. Kami tidak mungkin mengusir saudara sendiri
bukan? aku yakin tidak hanya kau saja yang akan murka jika hal itu sampai
terjadi.
Apalagi orang-orang yang bermental sama dengan
balatentara Jepang tahun 1943 silam itu, terkadang susah ditebak. Banyak yang
dikira baik, ternyata tidak. Begitu pun sebaliknya. Entahlah Pram, aku pun
tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Pemerintah dan para tokoh Indonesia saat
ini sedang memperdebatkan hukuman yang pantas dijatuhkan terhadap pelaku
kekerasan seksual. Ada yang mengusulkan hukuman kebiri, ada yang lebih menginginkan
untuk dihukum mati, ada pula yang menolak keduanya dengan alasan melanggar Hak
Asasi Manusia. Tentang bagaimana nanti, akan aku ceritakan lain waktu. Juga jawaban-jawaban
atas suratmu yang lain, akan segera aku tuliskan kembali untukumu.
Baiklah, Pram, sampai jumpa
kembali....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar