Senin, 23 Mei 2016

Surat Kecil untuk Pram I




“Dengan Hati berat aku tulis surat ini untuk kalian. Belum sepatutnya pada kalian diajukan suatu berita yang mengguncangkan, memilukan, menakutkan, dan menyuramkan. Kalian, para perawan remaja, hidup di alam kemerdekaan, di bawah atap keluarga yang aman, membela, dan melindungi. Mungkin ada di antara kalian yang yatim-piatu, namun tetap kalian mendapatkan makan sehari-hari dan perlindungan dari marabahaya. Bila orang tua sudah tiada pasti ada wali yang menggantikan. Bila wali tiada seluruh masyarakat akan memperhatikan kesejahteraan kalian” – Surat yang kau susun pada pertengahan tahun 1979 melalui bukumu, Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer.
 
Maka Pram, izinkan aku membalas suratmu. Iya, aku ingin bercerita tentang nasib perawan remaja zaman sekarang.
Sama halnya denganmu, dengan berat hati aku menulis surat ini. Tidak sepatutnya kau yang seharusnya sudah tenang di alam sana, mendengar berita yang mengguncangkan, memilukan, menakutkan, dan menyeramkan. Sama seperti yang terjadi pada tahun 1943 silam, dimana para perawan remaja Indonesia (seperti yang kau ceritakan) harus terpaksa menjadi budak seks balatentara Jepang. Memang, kami para perawan remaja masa kini hidup di alam kemerdekaan. Jauh lebih merdeka jika dibandingkan dengan tahun dimana Indonesia masih dijajah Dai Nippon yang kejam.

Akan tetapi, Pram, kekejaman dengan wajah dan aktor baru kini bermunculan. Ada di antara kami para perawan remaja yang hidup di bawah atap keluarga yang menyeramkan. Betapa tidak? Belakangan ini bermunculan kasus-kasus seorang ayah yang tega mengangkangi anaknya sendiri. Betapa tidak? Seorang ayah yang seharusnya melindungi, justru merusak masa depan anaknya sendiri.

Tentang masyarakat yang kau sebut akan memperhatikan kesejahteraan kami, para perawan remaja, tidak sepenuhnya benar. Baiklah, akan aku ceritakan sebuah kisah memilukan yang terjadi bulan lalu. Seorang anak berumur 14 tahun di Bengkulu, diperkosa hingga meninggal dunia oleh 14 remaja yang merupakan tetangganya sendiri, masyarakatnya sendiri, anak darah Indonesia sendiri, bukan orang lain, bukan bala tentara Dai Nippon. Anak darah Indonesia sendiri!!!

Kemudian di Bogor, seorang bocah berumur 2,5 tahun juga mengalami hal serupa. Bedanya si pelaku melakukan aksinya seorang diri. Aku ingin tertawa sekaligus menangis, Pram, ku yakin kau pun demikian. Jepang saja yang kau ceritakan amat kejam terhadap rakyat Indonesia itu, masih pilih-pilih umur. Yah, kau bilang Jepang mencari perawan remaja yang berumur 13-17 tahun bukan? Bukan main memang. Dan tentunya masih banyak kejahatan lain yang mungkin akan aku tulis untukmu lain waktu.

Tidak Pram, tidak! Aku tidak bermaksud untuk menyamakan kekejaman tentara Jepang dengan orang Indonesia. Jelas, Jepang masih yang paling kejam. Seperti yang kau ceritakan, mereka mengangkut para perawan remaja Indonesia dengan iming-iming hendak disekolahkan ke Tokyo dan Shonanto. Padahal kenyataannya, dibawa berlayar ke pulau atau negara lain untuk menjadi pemuas hasrat biadab balatentara Jepang. Jelas itu lebih kejam. Apalagi setelah Jepang kalah dalam perang dunia II pada Agustus 1945, para gadis yang diangkut dari Jawa dilepas seperti ayam, sedangkan pihak balatentara Jepang berusaha keras untuk cuci tangan. Betapa mengerikannya itu.

Aku menulis surat ini hanya ingin mengatakan kepadamu bahwa kami, para perawan remaja masih banyak yang mengalami nasib buruk akibat kebiadaban lelaki. Batin kami lah yang lebih sakit, tentunya. Karena kebiadaban tersebut dilakukan oleh bangsa kami sendiri. Aku jadi teringat presiden pertama kita pernah mengatakan “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit karena kamu melawan bangsamu sendiri”. Memang benar, lebih sulit melawan bangsa sendiri, Pram. Kami tidak mungkin mengusir saudara sendiri bukan? aku yakin tidak hanya kau saja yang akan murka jika hal itu sampai terjadi.

 Apalagi orang-orang yang bermental sama dengan balatentara Jepang tahun 1943 silam itu, terkadang susah ditebak. Banyak yang dikira baik, ternyata tidak. Begitu pun sebaliknya. Entahlah Pram, aku pun tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Pemerintah dan para tokoh Indonesia saat ini sedang memperdebatkan hukuman yang pantas dijatuhkan terhadap pelaku kekerasan seksual. Ada yang mengusulkan hukuman kebiri, ada yang lebih menginginkan untuk dihukum mati, ada pula yang menolak keduanya dengan alasan melanggar Hak Asasi Manusia. Tentang bagaimana nanti, akan aku ceritakan lain waktu. Juga jawaban-jawaban atas suratmu yang lain, akan segera aku tuliskan kembali untukumu.
Baiklah, Pram, sampai jumpa kembali....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar