Jumat, 20 Mei 2016

Resensi; Pengakuan Pariyem





 


 Judul                           : Pengakuan Pariyem (Dunia Batin Wanita Jawa)
Bentuk                         : Novel Prosa Lirik
Penulis                         : Linus Suryadi Ag.
Penerbit                       : Pustaka Pelajar
Tahun terbit                 : Cetakan keenam 2002
Jumlah Halaman          : 325 Halaman
 


Potret Kehidupan di Lingkungan Priyayi Jawa
            Pariyem adalah seorang babu yang mengabdi di nDalem Suryamentaraman Ngayogyakarta, dengan nDoro Kanjeng Cokro Sentono sebagai majikannya. Pariyem sendiri berasal dari Wonosari Gunung Kidul, sebuah daerah yang berada di sebelah selatan Kota Yogyakarta. Pariyem digambarkan sebagai wanita Jawa yang lugu, nrimo ing pandum (menerima apa adanya), namun juga udik. Hal tersebut tidaklah aneh, selain karena ia tidak tamat SD, ia merupakan seorang penganut agama Katolik Kejawen yang sarat dengan budaya Jawa.

            Keluguan Pariyem digambarkan penulis melalui beberapa pengakuannya yang seolah mengajak Tuhan untuk mengampuni dosanya dalam perzinaan. Berikut pengakuan Pariyem:
“O, Allah, Gusti nyuwun ngapura. Kami telah telanjang bulat!. Bibir saya diciumnya, ciuman pertama dari seorang pria. Penthil saya diremasnya, remasan pertama dari seorang pria. Dan kuping bawah saya dikulumnya, kuluman pertama dari seorang pria. O, Allah, gelinya luar biasa! Bulu kuduk saya merinding lho”. (Hal.82)

            Selain keluguan, pariyem melalui pengakuannya juga sarat dengan sifatnya yang nrimo ing pandum. Kehidupannya sebagai babu tidak membuatnya murka, bahkan ketika ia harus menjadi selir tanpa pernikahan yang sah. Linus memang menggambarkan Pariyem sebagai gadis desa yang mudah memikat. Tidak heran jika anak sang majikan yang bernama Raden Bagus Ario Atmojo jatuh hati kepadanya hingga keduanya menjalin hubungan asmara diam-diam.
“Kalau memang sudah nasib saya sebagai babu, apa ta repotnya? Gusti Allah Maha Adil kok. Saya nrimo ing pandum. Kalau Indonesia krisis babu, bukan hanya krisis BBM saja, O, Allah, apa nanti jadinya?”. (Hal.29)

“Pariyem saya. Maria Magdalena Pariyem lengkapnya, “Iyem” panggilan sehari-hainya. Dari Wonosari Gunung Kidul. Sebagai babu  nDoro Kanjeng Cokro Sentono di nDalem Suryamentaraman Ngayogyakarta, kini merawani putra sulungnya. Raden Bagus Ario Atmojo namanya. Saya ajar bermain asmara. O, beginilah pokal anak muda. Baru kini jagad direguknya”. (Hal. 40)

            Melalui novel prosa lirik ini, Linus berhasil menggambarkan seperti apa kehidupan yang terjadi di lingkungan priyayi Jawa. Bagaimana polah seorang babu yang harus mengabdi, dan bagaimana keputusan seorang priyayi bak Tuhan yang harus dilaksanakan. Memang novel ini tidak menceritakan kisah asmara yang tragis antara wong cilik dan priyayi. Kehamilan Pariyem sebagai buah percintaannya dengan Den Bagus, diterima oleh kedua belah pihak keluarga. Anaknya pun tetap dianggap sebagai cucu majikannya, hanya saja Pariyem tidak dinikahkan.

            Tidak ada perseteruan yang menegangkan dalam novel ini, sebab Pariyem menerima dengan lapang dada segala apa yang dialaminya. Untuk ukuran novel menurut saya tidak lengkap jika tidak disertai konflik yang menjadi klimaksnya. Meskipun demikian, Pengakuan Pariyem (Dunia Batin Wanita Jawa) ini tetap enak dan menarik untuk dibaca. Kata-kata yang diungkapkan Pariyem sangat humoris berkat keluguannya.

            Akan tetapi, buku ini juga dapat menyebabkan kecelakaan dalam berfikir terutama bagi orang yang belum mengenal budaya Jawa yang sesungguhnya. Nrimo ing pandum yang digambarkan dalam novel ini terlalu berlebihan. Orang Jawa memang memiliki sifat nrimo ing pandum sebagai ciri khasnya, yaitu representasi rasa bersyukur atas apa pun yang telah diberikan oleh Tuhan. Hal ini bukan termasuk penerimaan atas eksploitasi tubuh.

            Dilihat dari bahasa yang digunakan serta alur cerita yang bisa dikatakan saru, novel ini hanya cocok dibaca orang-orang dewasa. Semoga resensi ini bermanfaat bagi pembaca yang budiman dan menambah ketertarikan untuk membaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar